Kuliah Teori Komunikasi



Spiral of Silence Theory (Teori Spiral Keheningan)

Teori the spiral of silence (spiral keheningan) dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neuman (1976), berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya pendapat umum. Teori ini memiliki asumsi dasar bahwa terbentuknya pendapat umum ditentukan oleh suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antar pribadi, dan persepsi individu tentang pendapatnya dalam hubungannya dengan pendapat orang-orang lain. Teori ini menjelaskan mengapa dan bagaimana orang sering merasa perlu untuk menyembunyikan (to conceal) pendapat-pendapatnya, preferensinya (pilihannya), pandangan-pandangannya, dsb., manakala mereka berada pada kelompok minoritas.

Secara ontologis kita bisa melihat bahwa teori ini termasuk kategori ilmiah. Teori ini mempercayai bahwa sudah menjadi nasib atau takdir (fate) kalau pendapat atau pandangan (yang dominan) bergantung kepada suara mayoritas dari kelompoknya.
Noelle-Neuman menyatakan bahwa kekuatan media massa diperoleh dari :
  • kehadirannya di mana-mana (ubiquity)
  • pengulangan pesan yang sama dalam suatu waktu (kumulasi)
  • konsensus (konsonan) tentang nilai-nilai kiri di antara mereka yang bekerja dalam media massa, yang kemudian direfleksikan dalam isi media massa.


Bukti-bukti yang diungkapkan oleh Noelle-Neuman diperoleh dari Jerman Barat, meskipun ia menyatakan bahwa “konsonan” itu iuga berlaku bagi demokrasi parlementer Barat dan sistem media yang dikontrol pemerintah. Tidaklah jelas apakah ia juga akan memperluas teorinya agar mencakup negara-negara yang sedang berkembang. Namun untuk kasus di Indonesia, masa peralihan pemerintahan Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono memiliki sisi-sisi yang cukup relevan dengan asumsi teori ini.

Tapi, seperti teori-teori yang lain, teori ini juga bukan tanpa kritik. Berlakunya teori ini hanya situasional dan juga kontekstual, yakni hanya sekitar permasalahan pendapat dan pandangan pada kelompok. Tampaknya, teori ini tidak berpengaruh buat orang-orang yang dikenal sebagai avant garde dan hard core. Yang dimaksud dengan avant garde di sini ialah orang-orang yang merasa bahwa posisi mereka akan semakin kuat biasanya para intelektual, artist, visioner, sedangkan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok hard core ialah mereka yang selalu menentang, apa pun konsekuensinya (Noelle-Neumann, 1984).

Seputar tentang Spiral of Silence Theory :
  • Individu memiliki opini tentang berbagai isu. Akan tetapi, ketakutan akan terisolasi menentukan apakah individu itu akan mengekspresikan opini-opininya secara umum. Untuk meminimalkan kemungkinan terisolasi, individu-individu itu mencari dukungan bagi opini mereka dari lingkung­annya, terutama dari media massa.

Teori Spiral Keheningan secara unik menyilangkan opini publik dan media. Untuk lebih memahami perbatasan ini, pertama-tama akan diuraikan pemikiran mengenai opini publik, komponen utama dari teori ini. Kemudian tiga asumsi dari teori ini akan dibahas.

Asumsi Spiral of Silence Theory
Dengan adanya opini public sebagai dasar dari teori ini, kita sekang akan mempelajari tiga asumsi dari Teori Spiral Keheningan. Noelle-Nuemann (1991:1993) telah membahas tiga pernyataan ini sebelumnya:
  • Masyarakat mengancam individu-individu yang menyimpang dengan adanya isolasi; rasa takut terhadap isolasi sangat berkuasa.
  • Rasa takut akan isolasi menyebabkan individu-individu untuk setiap saat mencoba menilai iklim opini.
  • Perilaku publik dipengaruhi oleh penilaian akan opini publik.
Asumsi yang pertama  menyatakan bahwa masyarakat memegang kekuasaan terhadap mereka yang tidak sepakat melalui ancaman akan isolasi. Noelle-Nuemann percaya bahwa struktur masyarakat kita bergantung sepenuhnya pada orang-orang yang secara bersama menentukan dan mendukung seperangkat nilai. Dan oponi publiklah yang menentukan apakah nilai-nilai ini diyakini secara sama di seluruh populasi. Ketika orang sepakat mengenai seperangkat nilai bersama, maka ketakuatan akan isolasi akan berkurang. Ketika terdapat perbedaan nilai, ketakutan akan isolasi muncul.

1.    Kepribadian yang sehat
a.    Kepribadian yang sehat menurut humanistik, perilaku yang mengarah pada aktualisasi diri:


No.
Sifat/Ciri Kepribadian Sehat
Intropeksi

1.
Menjalani hidup seperti seorang anak, dengan penyerapan dan konsentrasi sepenuhnya.
Sudah, bahkan masih saya lakukan khususnya penyerapan dan konsentrasi sepenuhnya dalam mencari ilmu agar menjadi manfaat di masa depan.

2.
Mencoba hal-hal baru ketimbang bertahan pada cara-cara yang aman dan tidak berbahaya.

Pernah saya lakukan, sampai saat ini saya masih tetap mencoba hal-hal baru dengan ekspresi yang lebih positif dan lebih berguna.

3.
Jujur; menghindari kepura-puraan dalam “bersandiwara”.



Kejujuran menjadi modal utama dalam kehidupan saya. Karena dengan kejujuran, maka kepercayaan dapat kita raih.
4.
Memikul tanggung jawab.



Tanggung jawab adalah adalah salah satu sikap yang saya junjung tinggi. Mengingat saya bukanlah anak kecil lagi.
5.
Bekerja keras untuk apa saja yang ingin dilakukan.

Sudah saya lakukan hal seperti ini. Contoh : Belajar dari pengalaman mencari nafkah, ternyata sulit juga mencari uang untuk menghidupi diri sendiri. Kuncinya ialah bekerja keras.
6.
Mencoba mengidentifikasi pertahanan diri dan memiliki keberanian untuk menghentikannya .

Belum. Karena sulitnya melawan hawa nafsu yg ada pada diri saya sendiri.
7.
Siap menjadi orang yang tidak popular bila mempunyai pandangan sebagian besar orang.

Belum. Mengingat sikap buruk saya yang mengedepankan ego. Kedepannya saya akan melatih sikap/kepribadian seperti ini.
8.
Lebih memperhatikan perasaan diri dalam mengevaluasi pengalaman ketimbang suara tradisi, otoritas, atau mayoritas.
Sikap seperti ini memang ada pada diri saya. Saya lebih percaya pada suara hati saya ketimbang dari orang lain. Contohnya ketika mengambil suatu keputusan, kepada orang lain saya hanya meminta saran, akan tetapi dalam mengevaluasinya perasaan diri sayalah yang menentukan keputusan tersebut.

b.    Ciri orang yang kepribadiannya sehat menurut buku mazhab ketiga :

No.
Sifat/Ciri Kepribadian Sehat
Intropeksi
1.
Mempersepsi kehidupan atau dunianya sebagaimana apa adanya, dan merasa nyaman dalam menjalaninya.
Sudah. Hidup apa adanya merupakan kehidupan yang saya sukai. Tidak perlu melihat orang, karena salah satu sifat manusia adalah ketidakpuasan. Maka dari itu jalini hidup dengan apa adanya.
2.
Menerima dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya.
Sifat atau kepribadian seperti itu memang sudah ada sejak saya kecil. Dimana saya berpijak, disitulah saya harus beradaptasi dan menerima orang lain sebagai network dan relasi saya dalam bersosialisasi.
3.
Bersikap spontan, sederhana, alami, bersikap jujur, tidak dibuat-buat dan terbuka.
Spontan belum ada pada diri saya, sikap sederhana memang gaya hidup saya yang alami dan tidak direkayasa. Kejujuran memang sangat sulit akan tetapi saya berusaha untuk hidup secara jujur dan terbuka.
4.
Mempunyai komitmen atau dedikasi untuk memecahkan masalah di luar dirinya (yang dialami orang lain).
Sudah saya alami dan melakukan sikap seperti ini. Mempunyai komitmen berarti mempunyai prinsip. Memecahkan masalah orang lain berarti membantu meringankan penderitaannya.
5.
Bersikap mandiri atau independen.
Sudah, karena sikap mandiri sudah ditanam oleh orang tua saya sejak kecil. Hingga saat ini apa yang saya jalani harus dengan kerja kerja keras saya sendiri.

6.
Memiliki apresiasi yang segar terhadap lingkungan di sekitarnya.
Sikap seperti ini masih dalam proses, karena tidak setiap lingkungan dapat menerima apresiasi yang saya berikan. Ada pula yang menolak mentah-mentah apa yang saya sampaikan.
7.
Mencapai puncak pengalaman, yaitu suatu keadaan dimana seseorang mengalami kegembiraan yang luar biasa. Pengalaman ini cenderung lebih bersifat mistik atau keagamaan.
Saya rasa sikap atau ciri kepribadian seperti ini belum ada pada diri saya, dikarenakan tidak setiap pengalaman itu menyenangkan dan membawa kebahagiaan serta kegembiraan. Saat ini hanya kegembiraan yang biasa-biasa saja yang saya alami.
8.  
Memiliki minat sosial, simpati, empati dan altruis.
Minat sosial memang ada pada diri saya, karena saya menjalani hidup ini lebih kepada sosialis ketimbang individualis. Simpati dan empati pun sikap yang harus ada dalam diri saya (proses).
9.
Sangat senang menjalin hubungan interpersonal (persahabatan atau persaudaraan) dengan orang lain.
Sudah, karena sikap seperti ini wajib ada pada diri saya. Dikatakan bahwa 75% keberhasilan seseorang itu dikarenakan oleh network, hubungan interpersonal, relasi dan silaturahmi.
10.
. Bersikap demokratis (toleran, tidak rasialis, dan terbuka).
Sudah dan masih dalam proses pengembangan sikap lebih toleran dan terbuka kepada siapa saja. Tidak rasialis mungkin masih ada dalam diri saya karena ego yang begitu besar yang membuat saya rasialis.
11.
Kreatif (fleksibel, spontan, terbuka dan tidak takut salah).
Sudan dan masih dalam pengembangan serta proses kepribadian yang terbuka dan tidak takut salah atau berani mengambil resiko.
           
Sumber :
Referensi:
Basuki, Heru. (2008). Psikologi Umum. Jakarta: Universitas Gunadarma.
Dahlani, Ifdil. Konseling Psikoanalisis Klasik (Sigmund Freud).

Related Post



Posting Komentar